Ada Apa dengan Pagu Minus?

Oleh: Muhammad Nur
Kepala Seksi Verifikasi dan Akuntansi
Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara Banda Aceh

SETIAP akhir tahun anggaran, cerita mengenai fenomena “sisa anggaran” masih juga belum sirna. Proses dan prosedur penyelesaian “sisa-sisa transaksi” akhir tahun anggaran masih saja muncul, terutama dari aspek pertanggung jawaban dan pelaporan keuangan.

Dari aspek ini, beberapa transaksi seperti saldo tidak normal, aset belum diregister, penyetoran sisa UP/TUP, kesalahan akun dan/atau kode satker perpajakan, rekonsiliasi internal (SAIBA versus SIMAK BMN) yang masih selisih, dan juga penyelesaian pagu minus masih menghantui pelaporan keuangan satker.

Hal-hal tersebut tentu saja akan berimbas pada menurunnya kualitas laporan keuangan satker. Bahkan sampai tingkatan ke atasnya baik di tingkat wilayah hingga ke tingkat eselon I, termasuk kepada Laporan Keuangan Kementerian/Lembaga (LKKL) itu sendiri.

Jika ada transaksi-transaksi yang tidak wajar, maka dapat pula berakibat kepada opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) yang selalu digaungkan dan dikejar-kejar sebagai sebuah bentuk dari prestasi kerja satker, pemerintah daerah, K/L dan pemerintah pusat.

Nah, salah satu fenomena akhir tahun yang menarik perhatian penulis adalah mengenai pagu minus. Berdasarkan data dan pengamatan penulis, penyelesaian pagu minus mulai dari tingkat satuan kerja hingga ke pusat K/L seolah begitu-begitu saja.

Memang sudah ada perkembangan yang signifikan di mana banyak juga satuan kerja yang sudah tidak ada pagu minusnya.

Ketika dibukanya keran revisi penyelesaian pagu minus, satker ramai-ramai mendatangi KPPN dan Kanwil DJPb untuk melakukan revisi pagu minus, baik pada MAK 51 maupun MAK 52.

Sebagian besar satker memang telah selesai dengan urusan pagu minus ini. Lalu selang beberapa minggu kemudian, fenomena unik (jika tidak bisa disebut aneh) terjadi.

Beberapa satker yang sebelumnya telah menyelesaikan revisi pagu minusnya (sudah tidak ada pagu minus pada DIPA-nya), ketika dilakukan rekonsiliasi ulang pada saat diharuskan melakukan update aplikasi SIMAK dan SAIBA, tiba-tiba saja muncul kembali pagu minus.

Berdasarkan konfirmasi dari petugas satker yang bersangkutan, rerata menyampaikan bahwa ada proses revisi dari kanwil-nya atau eselon I-nya yang entah bagaimana caranya kemudian menyedot pagu anggaran satker mereka.

Lebih mirisnya, seringkali jumlah pagu minusnya tidak terlampau material, hanya beberapa ratus atau ribu rupiah saja, namun tetap saja ini akan berpengaruh terhadap laporan keuangan satker yang bersangkutan.

Sebelum membahas lebih jauh tentang fenomena pagu minus ini, mari kita sedikit mendeskripsikan mengenai prosedur penyelesaian pagu minus sesuai ketentuan yang berlaku.

Secara ringkas, pagu minus dapat diselesaikan dengan revisi secara berjenjang, mulai dari internal satker (revisi POK oleh KPA), antar satker dalam satu wilayah/kanwil (oleh Kanwil DJPb), antar wilayah/kanwil (oleh Direktorat PA-DJPb), hingga antar-Program (oleh DJA).

Hal ini sebagaimana tertuang dalam PMK-208/PMK.02/2020 tentang Tata Cara Revisi Anggaran Tahun Anggaran 2021.

Selain PMK, beberapa ketentuan atau petunjuk teknis (juknis) revisi penyelesaian pagu minus juga setiap tahun diterbitkan, baik itu Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan, hingga juknis lain yang sifatnya lebih detail.

Namun demikian, masih selalu saja ada satker yang entah lalai atau abai, kemudian melewatkan batas waktu revisi penyelesaian pagu minus, yang bahkan sebenarnya sudah diberikan dispensasi berupa perpanjangan waktu oleh Direktorat PA DJPb.

Maka, fenomena berulang semacam ini perlu diupayakan solusinya. Jangan sampai pihak-pihak terkait selalu mengulangi “kesalahan yang sama” setiap tahunnya.L

Berpijak dari asumsi ini, penulis ingin mengajukan sebuah usulan yang diharapkan dapat menjadi alternatif regulasi dan kebijakan, yaitu mekanisme reward and punishment dalam konteks penyelesaian pagu minus tersebut. Mari kita simulasikan.L

Sebagai sebuah simulasi, kita contohkan saja Satker A dari Kementerian Z memiliki pagu minus sejumlah Rp 7 juta.

Lalu pada tingkat Kanwil Provinsi V Kementerian Z yang membawahi 12 satker, terdapat pagu minus sejumlah Rp 110 juta, dan pada level pusat Kementerian Z terdapat pagu minus sejumlah Rp 670 juta (dari total satker seluruhnya 148 satker).

Pada periode revisi anggaran (termasuk dispensasi waktunya), Kementerian Z berhasil menyelesaikan seluruh pagu minusnya baik di tingkat satker, wilayah, maupun di tingkat pusat.

Maka, Kementerian Z berhak memperoleh reward secara proporsional, misalkan berupa penambahan pagu anggaran tahun berikutnya sejumlah 5 persen pagu anggaran tahun berjalan.

Kemudian untuk Kementerian yang tidak memiliki pagu minus pada akhir tahun anggaran berjalan, maka dapat diberikan reward berupa penambahan pagu anggaran sebesar 25 persen pada tahun anggaran berikutnya.

Sementara itu, apabila hingga periode waktu penyelesaian (termasuk dispensasinya), Kementerian Z hanya berhasil menyelesaikan sejumlah Rp 500 juta pagu minus, maka sisa pagu minus sejumlah Rp 170 juta akan dipotong sebagai punishment pada pagu anggaran tahun berikutnya.

Tentu saja formulasi reward and punishmet dapat disusun secara lebih rinci dengan faktor-faktor pertimbangan lain seperti kualitas laporan keuangan (item-item penilaian dalam LK seperti pada awal tulisan), faktor risiko, program khusus yang dijalankan oleh K/L (misal dalam PC-PEN), dan sebagainya.

Lalu pihak Kementerian dapat membuat mekanisme reward and punishmet sejenis secara berjenjang ke level di bawahnya untuk penyelesaian pagu minus ini.

Sebenarnya, inti dari usulan mekanisme reward and punishmet ini adalah perihal awareness, di mana pihak yang berkepentingan diharapkan dapat lebih berhati-hati, efisien dan efektif, profesional, transparan, dan akuntabel dalam hal penggunaan anggarannya sehingga pada akhir tahun tidak ada lagi pagu minus.

Sependek pengetahuan penulis, penyelesaian pagu minus dapat menggunakan prosedur revisi dan/atau penyesuaian sisa pagu DIPA.

Namun apabila hingga level K/L pagu minus tidak berhasil diselesaikan, maka jalan terakhir adalah dengan menggunakan pagu dari BA BUN.

Artinya secara sederhana, tetap saja pemerintah pusat harus memberikan “dana talangan” untuk satker atau K/L yang tidak menyelesaikan pagu minusnya.

Kita mungkin bisa berasumsi bahwa BA BUN juga adalah bagian dari APBN, sama halnya dengan pagu anggaran pada satuan kerja atau K/L.

Memang benar, namun jika fenomena pagu minus ini terus dan selalu saja terjadi setiap akhir tahun anggaran, ibarat sebuah dompet maka lama-kelamaan akan jebol semakin parah.

Belum lagi jika melihat lebih dalam fenomena ini, maka bisa saja pihak satker atau K/L (mohon maaf) mungkin lalai atau abai terhadap perkara pagu minus ini.

Diharapkan pula ke depannya, tidak ada lagi pagu minus di akhir tahun anggaran karena semua pihak dapat lebih hati-hati dan lebih bertanggung jawab dalam penggunaan anggaran pada instansinya.

Akan tetapi, mekanisme punishment seharusnya merupakan opsi terakhir dalam konteks ini. Yang lebih utama adalah menumbuhkan kesadaran bahwa dalam setiap tahapan penganggaran akan selalu berdampak pada produk akhirnya, yaitu pelaporan keuangan.

Mekanisme lain yang dapat ditempuh sebelum menerapkan punishmet, misalnya dengan pembinaan yang lebih intensif, termasuk di dalamnya melalui indikator-indikator IKPA dan evaluasi penganggaran yang ketat terutama dari internal satker itu sendiri.

Tulisan ini telah diterbitkan di https://money.kompas.com/read/2022/08/24/103400026/ada-apa-dengan-pagu-minus?page=all#page5, 24 Agustus 2022

Posting Komentar

0 Komentar