RAPID TEST LAPORAN KEUANGAN PEMERINTAH


Oleh: Fitra Riadian
Kabid Pembinaan Akuntansi dan Pelaporan Keuangan
Kanwil DJPb Kemenkeu Prov. Maluku Utara

"Rapid test menjadi salah satu cara yang digunakan untuk mendeteksi terinfeksi COVID-19 dalam tubuh manusia. Pemeriksaan rapid test hanya merupakan penapisan awal. Selanjutnya, hasil pemeriksaannya harus tetap dikonfirmasi melalui pemeriksaan PCR. www.kemkes.go.id diunduh pada 7 Oktober 2020." 
Dari Rakernas Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pemerintah 2020 diketahui bahwa kualitas Laporan Keuangan Pemerintah meningkat yang ditandai dengan bertambahnya jumlah opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), dari 81 Kementerian Negara/Lembaga (K/L) menjadi 84 K/L pada Tahun Anggaran 2019 (dari total 87 K/L). Peningkatan opini juga terjadi pada Laporan Keuangan Pemerintah Daerah, yaitu 486 dari 542 atau 89,7% mendapatkan opini WTP, terdiri atas 34 Pemerintah Provinsi, 87 Pemerintah Kota dan 365 Pemerintah Kabupaten di seluruh Indonesia. Pada Provinsi Maluku Utara juga mengalami peningkatan, dari 9 menjadi 10 Pemda yang memperoleh opini WTP. 

Apa hubungannya antara Rapid Test dan Laporan Keuangan?

Rakernas Akuntansi yang diselenggarakan secara daring pada Selasa (22/09) mengambil tema “Tantangan Akuntabilitas Keuangan Negara dalam Penanganan Pandemi Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional”. Tema ini mengingatkan kita bahwa dalam penyusunan Laporan Keuangan Tahun 2020 terdapat tantangan baru, yaitu bagaimana dapat mempertanggungjawabkan kegiatan dan transaksi terkait penanganan pandemi Covid-19 secara baik sehingga tidak mengancam pencapaian opini LKKL/LKPD tahun 2020.

Mengapa Penanganan Pandemi Covid-19 dapat menjadi "virus" dalam pertanggungjawaban keuangan negara?

Dalam rakernas diungkapkan ada 3 hal yang harus menjadi perhatian, yaitu (1) nilainya sangat besar; (2) Program baru sangat banyak dan bersifat antisipatif (banyak berubah) mengikuti perkembangan masalah riil yang terjadi di masyarakat. (3) fleksibilitas baik dalam pengelolaan keuangan maupun dari segi hukum yang diberikan dalam UU No.2 Tahun 2020 tentang Penetapan Perpu No.1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19.
Hal-hal diatas apabila tidak diantisipasi, akan menjadi virus mematikan layaknya Covid-19 pada saat pertanggungjawaban berupa penyusunan Laporan Keuangan. Untuk mengetahui apakah suatu Pemerintah Daerah telah terinfeksi virus dalam pengelolaan keuangannya, perlu dilakukan rapid test, yaitu dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan dibawah ini.

Apakah seluruh aturan yang diperlukan telah selesai dibuat hingga peraturan level teknisnya?

Febrio Kacaribu, Kepala BKF Kemenkeu menyatakan dalam penanganan Pandemi Covid-19 programnya sangat-sangat banyak, dan banyak dari program ini adalah program-program baru sehingga sangat menantang, tidak hanya bagi design policy-nya, tetapi juga pada saat implementasinya, yaitu tantangan tata kelolanya, bagaimana supaya tetap baik tapi tetap responsif untuk bisa melaksanakannya secara cepat. Banyaknya program baru memerlukan aturan dari level kebijakan hingga level teknis. Dari level Peraturan Pemerintah/Presiden/Menteri/Gubernur/Bupati/Walikota sebagai aturan main dan payung hukum pelaksanaannya. Peraturan yang sudah jadi pun kadang perlu diubah apabila tidak jalan dalam implementasinya untuk semakin sempurna dan mudah dilaksanakan.

Apakah peranan Aparat Pengawasan Internal Pemerintah (APIP) telah berubah dari peran pengawasan menjadi peran pendampingan manajemen?

Salamat Simanullang, Deputi Pengawasan Instansi Pemerintah Bidang Perekonomian & Kemaritiman BPKP menyatakan bahwa peran APIP harus dilakukan perubahan, APIP tidak lagi berpaku sebagai internal auditor, dimana berperan sebagai pengawas. Tetapi harus merubah kegiatan yang dilakukan, yaitu bagaimana APIP melakukan pendampingan kepada para manajemen. Berdasarkan pernyataan tersebut, artinya, peran APIP harus dalam seluruh siklus pengelolaan keuangan, yaitu dari proses perencanaan program, penganggaran, pelaksanaan dan pertanggungjawaban (pelaporan keuangan). Harus dilaksanakan sejak dini, sehingga setiap tahap selalu terjaga dan pemeriksaan tidak menumpuk di belakang hari. "Terbaik adalah terlibat sejak kebijakan program, sehingga dapat memasukkan unsur-unsur sistem pengendalian internal untuk mitigasi risiko yang mungkin terjadi."

Apakah telah dilakukan mitigasi risiko hukum?

Meskipun dalam Pasal 27 UU Nomor 2 Tahun 2020 ayat (1) menyatakan bahwa seluruh biaya yang dikeluarkan merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara; Ayat (2) menyatakan bahwa para pejabat/pegawai tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; serta Ayat (3) menyatakan bahwa segala tindakan termasuk keputusan bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan TUN, tetap wajib dilakukan mitigasi risiko hukum melalui sosialisasi dan pendidikan hukum.
Jaksa Agung Muda Perdata & TUN, Feri Wibisono, menyatakan bahwa yang dimaksud itikad baik adalah tidak adanya kepalsuan (baik fakta maupun dokumen) dan tidak adanya fraud. Lebih lanjut bahwa diskresi hukum tetap ada batasannya, yaitu agar dilaksanakan sesuai peraturan/ketentuan yang ada, jika ketentuan/peraturan belum lengkap, maka kewajiban kita membuat peraturan tersebut. Feri juga menekankan agar hindari sungguh-sungguh penyalahgunaan wewenang (melampaui kewenangan, tidak berwenang tapi melakukan tindakan tersebut dan menggunakan kewenangannya untuk tujuan yang lain). Adapun risiko yang dapat muncul adalah dalam area pendistribusian dana, penempatan dana, pinjaman daerah, dan pinjaman korporasi. Kesemuanya harus digunakan secara proper sesuai tujuan peruntukkannya agar tidak masuk kategori perbuatan yang bersifat melawan hukum.

Apakah terdapat Teknologi Informasi (IT) yang dapat menghasilkan data yang mumpuni?

Dengan besarnya anggaran dan dinamisnya program tentunya memerlukan tools untuk mengawasi dan memonitor input dan output baik oleh pemerintah maupun BPK. Termasuk cross checking data antar lembaga seperti BI dan LPS serta Perusahaan BUMN/D yang menyalurkan bantuan pemerintah untuk memastikan tepat sasaran dan tidak adanya double bantuan. Data tersebut juga untuk memudahkan pengungkapan penanganan Covid-19 dalam Laporan Keuangan sesuai amanat UU No.2/2020, yaitu penjelasan penggunaan anggaran dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara dan langkah-langkahnya, seperti: bagaimana proses refocusing anggaran (perubahan-perubahan anggaran yang terjadi terkait penanganan Covid-19) dan intake/output yang dihasilkan. Pada Pemerintah Pusat salah satu cara yang ditempuh adalah dengan membuat kodefikasi segmen akun khusus Covid. Yang dapat dipakai untuk analisis dan pengambilan keputusan, apakah ada sinkronisasi antara perencanaan anggaran, pelaksanaan anggaran dan pertanggungjawaban. Juga membantu penelusuran kewajaran penyajian dan pengungkapan di Laporan Keuangan.

Kesimpulan

Apabila jawaban atas pertanyaan-pertanyaan diatas adalah "reaktif", maka mengindikasikan akan terjadi kesulitan dalam pertanggungjawaban Laporan keuangan yang disebabkan adanya kegiatan penanganan Covid-19. Harus segera diambil langkah-langkah mitigasinya. Perlu dilakukan sinergi antara APIP, BPK, Kejaksaan dan Aparat Penegak Hukum. Sinergi tersebut baik dalam fungsi konsultasi, join audit dan sharing informasi dengan harapan terjadi percepatan pengendalian fraud. Perlu sosialisasi terkait risiko pidana/perdata kepada para operator dan pejabat pelaksana. Dan perlu diciptakan sistem informasi yang dapat menampilkan data-data yang akurat.

 -----------------

(Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan organisasi)

-----------------
Artikel ini telah diterbitkan di MALUTPOST tanggal 28 Oktober 2020, halaman 12

Posting Komentar

0 Komentar